Tulisanku

Mindset Ramadhan


Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan yang penuh berkah dan maghfirah, dimana orang yang beribadah pada saat itu nilainya sama dengan ibadah selama 1000 bulan. Subhanallah, sebuah award yang tak bisa dibayangkan “bentuk” nya, hal itulah yang menjadi pendorong semangat ummat muslim dalam meningkatkan itensitas ukhrawi mereka, disamping merupakan kewajiban dan anjuran yang sudah semestinya ditunaikan.
Marhaban Ya Ramadhan. Selamat datang Ramadhan, merupakan kalimat yang tak pernah absen terlihat dan terdengar ketika bulan puasa tiba. Semua orang berlomba-lomba menjadi yang pertama mengucapkan kalimat itu, baik secara verbal maupun non verbal, wajah senyum sumringah yang tercetak dalam baligho ukuran raksasa menghiasi sudut-sudut kota sebagai wujud kegembiraan yang tak terkira karena masih diberikan kesempatan oleh Allah bertemu dengan Syahrut Tarbiyah (Bulan Pendidikan). Pendidikan yang dimaksud adalah tentang bagaimana setiap diri dapat mengatur waktu dalam kehidupannya, yang meliputi kapan waktu makan, kapan waktu bekerja, kapan waktu istirahat, dan kapan waktu ibadah. Satu gambaran kehidupan yang sangat terpola dan mencerminkan kepribadian seorang muslim, sejatinya inilah yang sebenarnya diharapkan tertanam dalam benak kaum muslimin. Namun ibarat mendaki gunung yang tinggi tanpa disertai sebuah keahlian khusus, perjalanan menuju puncak pastinya tidak akan mudah, kemungkinan terjatuh bisa saja terjadi sewaktu-waktu, sehingga menyebabkan kita sulit untuk kembali merangsek naik. Dibutuhkan semangat dan istiqomah yang kuat untuk dapat terus bertahan dari berbagai rintangan yang ada, termasuk menjadikan bulan lain sebagai bulan “ramadhan” dalam rangka menjaga stabilitas ibadah yang sudah di charge sebelumnya.

Yang menjadi permasalahan hingga detik ini adalah mindset (pola pikir) yang terbenam dalam benak kita yang tanpa disadari membawa pada interpretasi “musiman”. Artinya kegembiraan, kehidupan terpola dan semangat yang menggelora dalam menyambut dan melaksanakan ibadah di Syahru Jihad hanya ada pada saat Ramadhan saja, dan akan hanyut dibawa derasnya arus globalisasi setelahnya.
Mungkin pembaca sering mendengar Taushiyah (nasehat) yang diberikan oleh Muballigh dalam setiap ceramah tentang keutamaan Puasa dan faedah yang tercantum di dalamnya, salah satunya adalah menjadikan setiap insan mampu mengendalikan diri dan memfungsikan panca indera sesuai dengan tupoksinya, hingga akhirnya menjadikan diri kita fitri seperti “bayi yang baru lahir” pada hari lebaran (Idul Fitri). Pesan ini ternyata secara tidak langsung dimaknai sebagai hari “kemenangan” yang salah persepsi. Kemenangan yang dimaksud ialah keberhasilan melewati bulan suci Ramadhan dengan predikat puasa full tanpa makan dan minum, karena memang itulah patron yang kita ikuti selama ini, ibarat kompas yang perlu mendapat reparasi untuk mendapatkan arah yang benar dan sesuai dengan tujuan. Meskipun tidak dapat kita pungkiri bahwa tidak semua orang memiliki mindset yang keliru, hal itu dibuktikan dengan stabilnya voltase iman dan pengamalan seseorang yang dilakukan didalam dan diluar Ramadhan. Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan akhir hadirnya syahrul jihad, sebab ketika diri memaknainya dengan baik, serta berjihad melawan hawa nafsu sendiri, maka unsur negatif yang terdapat pada diri kita akan tenggelam ditelan kesungguhan qolbu. Tentunya dalam melewati proses penggemblengan selama satu bulan tersebut, disertai dengan niat tulus serta iman dan motivasi yang bagus, sehingga menjadi satu kesatuan yang sangat kuat dan tak terpisahkan, perumpamaannya bagaikan ratusan lidi yang diikat menjadi sebuah sapu, pasti sulit dipatahkan.
Indikator kemenangan yang hakiki sudah pasti diperoleh dari output yang terlihat selama 11 bulan berikutnya (diluar Ramadhan), dimana tingkat ujian terhadap diri jauh lebih tinggi dan ekstrim. Betapa tidak, jika di bulan Puasa kita terbantu menahan lapar dan haus karena setiap muslim melaksanakannya pula, namun diluar Ramadhan temperatur justru semakin naik disebabkan pada saat yang bersamaan banyak orang melepas lapar dan dahaga di tempat umum. Ini menjadi ujian tersendiri bagi mujahid-mujahida dalam mempertahankan mindset hakiki mereka, semakin tinggi kita memanjat pohon, semakin banyak angin yang menerpa. Jika tidak hati-hati, bisa jatuh lagi ke tanah dan lebih sakit. Sama halnya dengan tingkat keimanan kita, semakin tinggi tingkatnya, maka semakin banyak tantangan, cobaan dan ujian yang datang silih berganti. Jika kita sanggup menyelesaikannya, maka kedudukan kita menjadi lebih tinggi lagi. Sebaliknya, jika tidak sanggup, maka mindset Ramadhan yang diinginkan hanya akan menjadi sebuah cita-cita belaka. Dampaknya dapat kita prediksikan dan saksikan, yaitu ketika Ramadhan telah berlalu, baik Masjid, Musholla, maupun Langgar yang sebelumnya padat merayap dipenuhi manusia, seolah hilang ditelan bumi seiring berlalunya bulan Puasa. Aktivitas islami seperti tadarrus Al-qur’an, dzikrullah, qiyamul lail, dan I’tikaf seolah menjadi pernak-pernik Ramadhan yang datang tak dijemput, pulang tak diantar, sungguh sebuah anomali yang sudah bertransformasi menjadi fenomena. Fenomena yang dibentuk dari mindset keliru tentang Ramadhan. Padahal jika kita menelusuri jejak historis, Masyarakat Sulawesi Barat merupakan warga madani yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam kesehariannya, itu dibuktikan dengan besarnya antusias penduduk ketika ajang musabaqoh tilawatil qur’an (MTQ) diselenggarakan, geliat qori’ qori’ah dari berbagai penjuru banua yang sudah dinyatakan lulus Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) yang memenuhi kriteria menyemarakkan acara tersebut. Tentu saja keyakinan mereka dimasa lampau tidak sama dengan motivasi pemuda saat ini yang terkesan musiman dan ikut-ikutan. Ini hanyalah bagian kecil dari kearifal lokal banua Sulbar yang memperlihatkan betapa jauhnya pergeseran mindset generasi kita saat ini.
Apa langkah yang sebaiknya dijalankan untuk menaklukkan musuh bebuyutan yang disebut mindset itu? Tentunya mindset yang penulis maksudkan disini ialah pola pikir keliru yang perlu diluruskan. Menganggap ibadah hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja merupakan salah satu contoh riil nya, pendekatan persuasif yang selalu diterapkan oleh stakeholder dalam setiap kesempatan, tidak bisa kita pungkiri sedikit banyak telah mempengaruhi paradigma seseorang. Meskipun hal demikian tidak serta merta membuat pemahaman mereka membaik secara instan, akan tetapi upaya ini diharapkan bisa menjadi penawar “racun” mindset yang telah terlanjur mendekam. Dalam mengatasi hal tersebut, terdapat banyak faktor yang layak mendapat perhatian khusus serta penanganan serius yaitu sumber pesan/komunikator yang mempunyai kredibilitas tinggi, contohnya seseorang yang memiliki pengetahuan tentang apa yang disampaikannya, lalu pesan itu sendiri (apakah masuk akal/tidak), pengaruh lingkungan, serta pengertian dan kesinambungan suatu pesan (apakah pesan tersebut diulang-ulang/tidak). Inilah beberapa faktor pemicu sehingga nasehat yang disampaikan kebanyakan tidak berbekas, atau dalam istilah lain masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Wawasan dan kecerdasan intelektual serta puclic speaking yang baik menjadi standar kompetensi seseorang dalam menyampaikan sesuatu, sebab berdasarkan pengalaman, pesan akan lebih mudah diterima apabila yang menyampaikan sesuai dengan apa yang dilakukan, meskipun ada ucapan dari Sayyidina ‘Ali Radiyallahuanhu: “Lihatlah pada apa yang disampaikan, bukan pada siapa yang menyampaikan”. Namun perspektif setiap orang tidak semuanya sama dan dapat menerima hal itu, karena aspek psikologis terkadang menjadi barometer penentu hasil akhir, dimana hal itu juga dipengaruhi tingkat kepercayaan seseorang kepada penyampai pesan, disamping pengaruh lingkungan yang sewaktu-waktu dapat merubah keadaan. Kesabaran dalam memberikan pengertian dan tidak bosan melakukan pendekatan secara berulang-ulang merupakan pilihan terbaik dalam memerangi trouble mindset yang semakin menjamur.
Untuk itulah, belajar dari datangnya bulan Ramadhan dan makna yang terkandung di dalamnya, mari kita bersama-sama menyiapkan diri dan hati kita agar bisa membangun sebuah mindset yang benar dan baik, guna terwujudnya pribadi Tarbiyah, Ibadah, dan Istiqomah. Amin Ya Robbal ‘Alamin. (Asm)


Budaya Ngutang

Ngutang, adalah kebiasaan yang seringkali dilakukan jika terdesak, ngutang juga biasanya menjadi jalan pintas yang ditempuh seseorang untuk memuluskan niatnya mendapatkan sesuatu, ibarat sebuah istilah, ngutang bisa menjadi Malaikat Penolong “sesaat” yang terbilang ampuh. Betapa tidak, selain mudah dilakukan, sang pemberi hutang pun terkadang sulit menyembunyikan perasaan “kasihan” nya ketika ada orang yang meminjam sesuatu kepadanya, sehingga semakin berkembang sajalah budaya ini.

Ngutang pada dasarnya berasal dari kata hutang yang berarti uang yang dipinjamkan dari orang lain. Seiring perkembangan sumber daya manusia (SDM) dan persepsi yang semakin amburadul, kata hutang kemudian di “modifikasi” oleh pelaku hutang yang dalam hal ini disebut pengutang menjadi UANG (cikal bakal lahirnya kata NGUANG). Dari kata inilah kebiasaan buruk tersebut dimulai, sehingga semakin mengakar dan “kokoh” di tengah-tengah Masyarakat sebagai kebiasaan favorit.
Berikut beberapa keuntungan NGUTANG:
  1. Tidak perlu bekerja karena uang selalu ada dari pinjaman orang lain.
  2. Bisa membeli apa saja dari uang pinjaman yang dimiliki.
  3. Tidak perlu pikirkan pengeluaran karena bayarnya belakangan.
  4.  Dan lain-lain.
Tentunya itu berlaku bagi mereka yang menggampangkan kegiatan berhutang tersebut. Karena tidak semua orang menyalahgunakan fungsi  dari ngutang. Untuk itulah tulisan ini saya buat untuk menyadarkan oknum-oknum “nakal” yang mengambil NGUTANG sebagai “senjata” mereka. Coba perhatikan kerugian NGUTANG berikut ini:
  1. Ngutang memang gampang, tetapi ketika waktu pembayaran tiba, banyak yang gelisah karena tidak punya uang untuk membayarnya.
  2. Terkadang membuat orang malas karena kebiasaan ini hanya bermodalkan muka memelas.
  3. Berpotensi merenggangkan silaturrahmi jika tidak bisa mengembalikan uang yang dipinjamnya.
  4. Belajar dari beragam kasus kriminal yang kebanyakan dipicu oleh hutang, tentunya kita tidak mengiginkan hal itu kan?
  5. Dan masih banyak lagi efek negatif yang bisa ditimbulkan oleh kebiasaan buruk ini.
Untuk itulah, penulis berharap agar kebiasaan NGUTANG ini janganlah dijadikan budaya, sebab kata budaya itu hanya dispecialkan untuk kegiatan-kegiatan positif saja kawan.. NGUTANG (BUKAN NGUANG YA..) itu sih boleh-boleh saja, asal dapat dikembalikan tepat pada waktunya dan saling memahami satu sama lain. Tapi kalau sudah merugikan salah satu pihak, lebih baik jangan berhutang deh.. Cari masalah aja tau gak. Be smart friends (Asm).

 

Tradisi Konvoi = Kebiasaan Buruk


Euphoria yang mewarnai kelulusan siswa SMA-Sederajat di seluruh Indonesia mungkin masih dirasakan mereka yang dinyatakan LULUS. Ekspresi bahagia dan haru dapat terlihat dari raut wajah dan bahasa tubuh mereka. Rasa syukur yang tak terhingga selalu diucapkan. Teriakan, tangisan, dan gelak tawa menjadi suara yang dominan pada saat itu.

                Hari Sabtu, 26 Mei 2012 adalah waktu yang ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk mengumumkan hasil Ujian Nasional (UN) secara serentak di seluruh Indonesia. Jutaan siswa tak henti-hentinya memanjatkan do’a agar namanya tercantum pada daftar siswa yang berhasil LULUS. Namun begitu, ada juga yang memilih untuk tidak datang karena khawatir dan takut namanya tidak ada. Waktu yang dinantikan pun tiba, hasil ujian nasional tingkat SMA-Sederajat akhirnya diumumkan.
                Melalui data yang dilansir oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh mengatakan sebanyak 99,5 persen atau 1,517,125 siswa tingkat SMA yang mengikuti ujian nasional (UN) ajaran tahun 2012 dinyatakan lulus ujian. Siswa yang tidak lulus hanya mencapai 0,50 persen atau 7.579 siswa.
Dibandingkan pada tahun lalu, tingkat kelulusan peserta UN tingkat SMA/MA/SMK hanya mencapai 99,2 persen. Data Kemendikbud menyebutkan, angka ketidaklulusan siswa UN tertinggi terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni 5,5 persen kemudian peringkat kedua Gorontalo dengan persentase 4,2 persen.  Tingkat kelulusan tertinggi berada di Jawa Timur. Sedangkan Bali yang sebelumnya selama dua tahun terakhir angka kelulusannya merupakan yang tertinggi menduduki peringkat kedua. Pada tahun ini sebanyak 4 sekolah yang seluruh siswanya tidak lulus UN yakni di Sumatera Utara, Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Pada tahun ini mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika merupakan nilai yang hasilnya dibawah angka rata-rata nilai kelulusan. Angka kedua mata pelajaran tersebut kurang dari 5,5 atau kurang dari 4,0.
Sebuah keberhasilan “ANGKA” yang membuat pemerintah bangga. Namun dibalik “KEBERHASILAN”  yang dielu-elukan itu, tersembunyi banyak pekerjaan rumah (PR) yang belum dapat diselesaikan dunia pendidikan Nasional. Apa itu? TRADISI KONVOI yang dilakukan oleh siswa setelah hasil ujian nasional diumumkan. Saya lebih condong mendeskripsikannya sebagai KEBIASAAN BURUK yang sudah saatnya ditinggalkan oleh generasi pelajar Nusantara. Generasi terpelajar adalah generasi yang menggunakan pemikiran cerdas dalam menyikapi segala sesuatu, mengerti tentang tindakan yang akan dilakukan, apakah berimbas positif atau negatif, tidak hanya ikut-ikutan dan menjadi “FOLLOWERS” kebiasaan buruk yang tidak jelas asal usulnya.
Beberapa aspek yang perlu diketahui oleh siswa/i mengapa aksi konvoi tersebut dilarang dan “FARDHU” ditinggalkan adalah:
1. Mubassir. Pakaian seragam yang masih bisa dipakai adik-adiknya menjadi rusak karena di coret-coret. Kalaupun anak tunggal, pakaian tersebut masih bisa disumbangkan kepada mereka yang tidak mampu membeli seragam.
2. Membuat teman sekolahnya semakin sedih dikarenakan tidak semua siswa dinyatakan LULUS. Mereka yang tidak lulus, otomatis merasa perjuangannya gagal dan sia-sia, terlebih lagi banyak teman-temannya yang bergembira di tengah-tengah kesedihannya.
3. Boros BBM. Konvoi (arak-arakan) yang tidak jelas arah dan tujuannya hanya membuang-buang BBM (Bahan Bakar Minyak). BBM sekarang mahal dek…. (KECUALI ORANG KAYA). Ya itupun kalau ga malu beli BBM Premium bersubsidi yang bukan ditujukan bagi ORANG KAYA.
4. Rawan kecelakaan. Meskipun sudah dilarang oleh pihak kepolisian, karena sudah banyak terjadi kecelakaan disebabkan aksi arak-arakan di jalan tetapi tetap saja dilakukan. Dasar BANDEL.
5. Melanggar aturan lalu lintas. Katanya siswa terpelajar… Tapi naik kendaraan gak pakai helm.. Kasihan generasi bangsa. Apa kata dunia….???
Kawan-kawan, itu hanya sebagian kecil dampak negatif yang ditimbulkan dari kebiasaan buruk konvoi di jalan. Meskipun masih banyak alasan yang dapat memperkuat statement betapa berbahayanya aksi tersebut. Semoga tulisan ini dapat membantu generasi bangsa kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. TRADISI KONVOI = KEBIASAAN BURUK (Asm).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar