Bagi mereka yang ingin menjadi novelis besar, tak ada salahnya memulai karir dengan menulis cerpen terlebih dahulu. Dalam situs www.write101.com (diterjemahkan oleh Ary), terdapat sebuah teknis sederhana yang bisa dijadikan jalan masuk memahami bagaimana caranya menulis cerpen itu. Jelasnya sebagai berikut,
Ketika mulai menyusun cerpen;
2. Lempari dia dengan batu.
3. Buat dia turun.
Kelihatannya aneh, tapi coba pikirkan
baik-baik, karena saran ini bisa diterapkan oleh penulis mana saja. Nah, ikuti
langkah-langkah perencanaan seperti yang disarankan di bawah ini kalau ingin
menulis cerpen-cerpen yang hebat.
Taruh seseorang di atas pohon, munculkan
sebuah keadaan yang harus dihadapi tokoh utama cerita.
Lempari dia dengan batu. Dari keadaan
sebelumnya, kembangkan suatu masalah yang harus diselesaikan si tokoh utama
tadi. Contoh, Kesalahpahaman, kesalahan identitas, kesempatan yang hilang, dan
sebagainya.
Buat dia turun, Tunjukkan bagaimana
tokoh Anda akhirnya mengatasi masalah itu. Pada beberapa cerita, hal terakhir
ini seringkali juga sekaligus digunakan sebagai tempat memunculkan pesan yang ingin
disampaikan penulis. Contoh, Kekuatan cinta, kebaikan mengalahkan kejahatan,
kejujuran adalah kebijakan terbaik, persatuan membawa kekuatan, dsb. Ketika
Anda selesai menulis, selalu (dan selalu) periksa kembali pekerjaan Anda dan
perhatikan ejaan, tanda baca dan tata bahasa. Jangan menyia-nyiakan kerja keras
Anda dengan menampilkan kesan tidak profesional pada pembaca Anda.
Bagaimana, sudah paham? Teknik tersebut
adalah langkah sederhana yang menjadi bekal awal untuk menulis cerpen.
Selanjutnya, perlu diperhatikan beberapa teknik berikut;
1. Tema.
1. Tema.
Dalam sebuah cerpen, tema
perlu kita pegang. Tema inilah yang menjadi benang merah ketika seorang
cerpenis mulai bekerja. Seperti dalam karya non fiksi dimana ada gagasan utama.
Dalam cerpen juga begitu, gagasan utamanya tetap harus kuat terasa ketika orang
selesai membaca karya cerpen yang dibuat oleh seorang pengarang.
2. Alur.
2. Alur.
Alur ini perlu dibangun
secara lengkap. Dalam arti terbaca jelas bagaimana pembukaan, pemunculan
konflik dan pada akhirnya sang pengarang mengakhiri sebuah cerita. Satu hal yang
sering terjadi, pengarang terlalu bertele-tele dan berlama-lama dalam pembukaan
cerita sehingga bagian konflik dan penyelesainnya malah menggantung. Nah, porsi
masing-masing perlu diseimbangkan agar cerita menjadi utuh.
3. Karakter tokoh.
3. Karakter tokoh.
Dalam cerpen, usahakan tokoh
tidak terlalu banyak. Justru, yang paling penting adalah bagaimana membuah
tokoh rekaan dalam sebuah cerpen tersebut bisa dikenang oleh pembaca.
4. Dialog.
4. Dialog.
Dalam membangun dialog juga
berlaku sama. Perlu dibangun kekuatan kata-kata yang keluar dari sang tokoh
dalam cerpen. Kata-kata yang menggugah, menginspirasi atau memberikan kesan
khas pada sang tokoh yang mengucapkannya.
5. Setting.
5. Setting.
Tempat kejadian usahakan
begitu dekat dengan pembaca. Jika sulit, imajinasikan dan narasikan
tempat-tempat itu agar terkesan khas sehingga pembaca akan bisa merasakan seolah-olah
tempat itu ada, unik dan menarik.
6. Sepenggal kisah.
6. Sepenggal kisah.
Dalam cerpen, cukup
ceritakan sepenggal kisah saja. Jangan terlampau mendedahkan kisah sang tokoh
dalam rentang waktu berhari-hari atau berbulan-bulan. Bahkan, kisah satu jam
bahkan 10 menit sang tokoh pun cukup asalkan memang menarik.
Dari kisah nyata menjadi cerpen.
Sebagai tambahan, dibawah ini ada tips
menarik bagaimana mengangkat kisah nyata menjadi sebuah cerpen (saya comot dari
blognya Jonru, www.jonru.multiply.com). Emangnya sinetron Islam aja yang dibikin berdasarkan kisah
nyata. Cerpen juga bisa kok. Dan sebenarnya, ini bukan "barang baru".
Sebab, nyaris semua pengarang pernah menulis cerpen berdasarkan kisah nyata,
baik itu pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain atau kejadian tertentu
yang dilihat oleh si pengarang. Lantas, kenapa harus dibahas di topik ini? Apa
istimewanya?. Saya merasa perlu membahasnya, karena baru-baru ini saya membaca
dua cerpen dari dua orang
teman yang diangkat dari sebuah kisah nyata. Setelah saya baca,
terus terang saya kecewa. Sebab cerpen tersebut sama persis dengan cerita
aslinya. Isi cerita, alur cerita, semuanya sama. Yang berbeda hanya nama-nama
tokoh dan settingnya. Selain itu, cerpennya pun disampaikan dengan
gaya yang biasa-biasa saja.
Sebenarnya, dalam mengangkat sebuah
kisah nyata ke dalam cerpen, bagaimana teknis menulis yang baik?. Secara umum,
tekniknya sama saja dengan teknik penulisan lainnya. Tapi menurut saya, yang
perlu diingat adalah: kisah nyata tersebut hanyalah sebuah IDE. Sebagai ide,
kita bebas mengembangkannya. Mau kita ubah ceritanya, ditambahi, dikurangi, dan
seterusnya, semua terserah kita. Tak ada yang melarang. Toh kisah nyata itu
bukan sebuah sejarah, hanya peristiwa sehari-hari yang biasa. Memang, bukan
berarti kita tidak boleh membuat cerpen yang isinya sama persis dengan kisah
nyatanya. Ya boleh-boleh saja dong. Yang saya maksud pada topik ini adalah:
Kita jangan sampai berpikir bahwa cerpen yang kita tulis tidak boleh merubah
sedikit pun kisah nyatanya. Sebab sekali lagi, kisah nyata tersebut bukan
sebuah sejarah. Sekadar berbagi tips, berikut adalah contoh langkahlangkah yang
bisa kita lakukan dalam mengubah sebuah kisah nyata menjadi cerpen.
- Carilah bagian dari kisah nyata itu yang kita anggap menarik. Bagian yang kurang menarik, atau tidak menarik sama sekali, lupakan saja.
- Galilah bagian yang menarik tersebut, lalu kembangkan ceritanya sesuai keinginan kita.
- Kalau perlu, carilah sudut pandang yang unik, agar ceritanya menjadi lebih bagus.
Setelah itu, kita bisa langsung menulis
cerpennya. Saat menulis ini, kita sudah boleh membuang jauh-jauh si kisah nyata
tersebut. Lupakan saja. Toh kita sudah punya modal berupa ke-3 poin di atas. Yang
juga penting, jangan merasa "terbebani" oleh hal-hal yang melekat
pada kisah nyata tersebut, sebab kita bisa mengubah semuanya sesuka kita.
Sebagai contoh, si pelaku pada kisah nyata adalah seorang pria. Ketika diubah
jadi cerpen, jenis kelaminnya kita ubah jadi wanita. Atau, kisah nyata ini
terjadi di Jakarta, tapi pada cerpennya diubah menjadi New York. Dan
seterusnya. Ini semua boleh-boleh saja. Asalkan cerita yang kita buat tetap
logis (masuk akal) dan menarik. (yons achmad). Sumber: http://pustaka-ebook.com
Scripta
Manen Verba Volant:
"yang tertulis akan tetap abadi,
yang terucap akan berlalu bersama
angin"
Untuk apa menulis? Barangkali banyak orang masih bingung
ketika disodori pertanyaan tersebut. Wajar, karena persoalan menulis memang
belum membudaya di tanah air. Jangankan masyarakat umum, mereka yang menyandang
gelar doktor bahkan profesor sekalipun bisa jadi banyak yang masih kesulitan
dalam soal menulis (menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan). Ini terbukti
dengan masih minimnya publikasi karya ilmiah (populer) yang bisa kita akses,
baik melalui media cetak maupun media interaktif (internet).
Untuk merangsang para
ahli di bidangnya berbagi gagasan, muncul beberapa situs internet agar ilmu
pengetahuan bisa diakses dengan luas dan mudah. Munculnya situs internet
semisal www.beritaiptek.com atau www.netsains.com patut kita apresiasi karena
dengan munculnya situs tersebut para ilmuwan yang kebanyakan berlatarbelakang eksakta
menjadi termotivasi untuk berbagi ilmu yang dimilikinya. Begitu juga dengan
munculnya situs www.penulislepas.com Situs
yang fokus mempublikasikan tulisan ilmiah populer. Situs ini didirikan oleh
Jonriah Ukur atau yang akrab dipanggil Jonru, pria berkacamata yang sudah
menerbitkan beberapa novel dan buku-buku seputar kepenulisan. Lewat situs ini,
siapapun boleh mempublikasikan karya dengan kekhususan tulisan non-fiksi (baik
berupa artikel, berita, informasi lomba kepenulisan maupun resensi buku).Saat ini, situs tersebut masih ramai sebagai media publikasi para penulis lepas di tanah air bahkan beberapa penulis yang tinggal di luar negeri. Untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam bidang tulis menulis, kemudian Jonru mendirikan institusi khusus sekolah menulis online yang beralamat di www.belajarmenulis.com. Sementara, secara khusus situs www.penulislepas.com sekarang dikelola secara profesional dengan mengangkat Yons Achmad sebagai content manager. Segala urusan mengenai isi situs menjadi tanggungjawab lelaki pecinta sastra asal Magelang ini.
Melihat kenyataan yang ada, memang, menulis tentu saja bukan
hanya persoalan para pengarang, penulis atau wartawan saja. Siapapun diri kita,
berprofesi apapun, kemampuan menulis itu diperlukan. Sepanjang kita masih punya
otak dan hati, sepanjang kita masih hidup, aktivitas menulis akan senantiasa
menyertai. Misalnya, dalam kehidupan keseharian, komunikasi kita tentu tidak hanya
sebatas ucapan lisan saja. Sering kita harus membangun komunikasi dengan
orang-orang yang jauh. Maka, tulisan menjadi penting sebagai jembatan komunikasi
sekaligus media yang lebih memungkinkan orang mengeluarkan gagasan secara
serius dan sistematis. Biasanya, kalau ucapan kerap kali hanya luapan
spontanitas saja. Sedangkan, tulisan lebih mempunyai bobot tersendiri karena sudah
pasti kita memikirkan dan merenungkannya terlebih dahulu sebelum menuangkannya
dalam sebuah karya. Kegagapan dan ketidakmampuan dalam menulis, akan
menyebabkan salah persepsi dan kegagalan komunikasi. Jika ini terjadi, bisa berakibat
fatal pada karier yang digeluti maupun dalam hubungan personal dalam kehidupan
bisnis dan kesehariannya. Lantas, bagi mereka yang akan meniti karir dan
bercita-cita punya profesi terkait dengan dunia tulis menulis (misalnya
wartawan, editor, pengarang), persoalannya akan lebih kompleks lagi. Sebab, persoalan
menulis tidak hanya sebatas alat komunikasi saja. Tetapi lebih dari itu,
menulis adalah soal bagaimana berpikir dengan baik, bersinggungan dengan soal
kemanusiaan, panggilan hidup, estetika kebahasaan, bahkan keberpihakan kepada
masyarakat kecil. Nah, dalam ulasan singkat ini, akan diberikan semacam tips-tips
segar kepada Anda agar lebih bergairah dan lebih serius lagi dalam mengeluti
dunia tulis menulis;
1.
Jangan sekedar hobi.
Masih banyak orang yang menjadikan aktivitas menulis sekedar
hobi belaka. Tak salah memang. Hanya saja, ternyata menulis pun bisa dijadikan
alternatif profesi, dalam arti mereka mendapatkan nafkah dan penghasilan dari
sana. Barangkali muncul pertanyaan, bisakah hidup layak dengan menjadi seorang penulis
?. Saya kira ini tergantung kerja keras masing-masing individu. Sudah terlalu
banyak contoh orang-orang yang sukses menjadi seorang penulis full time. Sebut
saja Ahmad Tohari, penulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yang kini juga menjadi
kolumnis sosial keagamaan di rubrik “Resonansi” Koran Republika. Habibburahman
El-Sirazy pengarang novel “Ayat-Ayat Cinta”. Atau JK Rowling, pengarang “Harry
Potter” yang kini menjadi miliyader dari hasil penjualan bukunya. Barangkali,
contoh di atas terlalu hebat untuk diketengahkan. Baiklah, sekarang sebagai
gambaran saja, ketika orang menulis (4-5 halaman) dan dimuat di media lokal,
biasanya mendapat honor Rp.100 ribu-Rp.300 ribu. Untuk media nasional sekitar
Rp.300 ribu-Rp 1 juta. Cukup lumayan bukan. Apalagi bagi penulis yang mau
menulis buku. Hasilnya, tentu akan lebih baik lagi. Di Tanah air, sistem
pembagian keuntungan buku karya seorang penulis berkisar 10-15%. Misalnya, buku
seharga 25 ribu terjual seribu eksemplar, penulis mendapat 2,5 juta. Biasanya,
rata-rata penerbit mencetak awal buku sebanyak tiga ribu eksemplar dan kalau
ternyata laris di pasar, baru cetak lagi. Namun, perhitungan tersebut biasanya
berkorelasi positif dengan kerja keras dan produktifitas dalam menelorkan
karya. Semakin produktif dan karya digemari masyarakat, semakin meningkat pula
taraf hidup penulis.
Disisi lain, seorang penulis, kalau sedang beruntung (menjadi
penulis selebritis), hasilnya akan bertambah lagi karena biasanya diundang ke
berbagai acara, baik untuk mengisi materi terkait dengan buku yang ditulis,
maupun berbagi pengalaman atas proses kreatifnya dalam menulis. Dari sini,
otomatis penulis juga mendapatkan tambahan penghasilan.
2.
Prioritaskan bacaan.
Agar ide dan pikiran tidak buntu, baca buku adalah solusinya.
Seorang penulis sejati, tidak bisa tidak, ia harus akrab dengan buku. Bukan
hanya menjadi kutu buku, lebih dari itu, ia perlu menjadi “predator buku”.
Melahap berbagai buku, seperti kata Hernowo penulis buku “Quantum Reading” menjadikan
buku ibarat sepotong pizza. Memang, tidak semua buku harus kita baca. Memilih
buku-buku bermutu serta memprioritaskan jenis dan waktu membaca itu perlu.
Helvy Tiana Rosa, pendiri komunitas penulis Forum Lingkar Pena (FLP) punya
saran yang baik. Yaitu membaca 3 jenis buku dalam sebulan, tentang keagamaan, tentang
hobi atau minat kajian yang diminati, dan tentang buku yang terkait latar
belakang pendidikan seseorang. Dengan pengaturan seperti itu, pikiran kita akan
lebih fokus, ide-ide bermunculan sehingga aktivitas menulis terus berkembang. Misalnya
seorang dokter yang kebetulan beragama Islam tapi suka menulis. Dalam sebulan,
ia perlu melahap setidaknya satu buku tentang keagamaan (tak melulu soal keagamaan
sich, tapi juga bisa terkait dengan bidangnya, contohnya buku “Aborsi dalam
pandangan Islam). Satu buku tentang “Kanker” (sesuai dengan bidang keahliannya),
satu buku lagi yang berjenis novel (karena ia suka sastra) atau “Teknik
Origami” (karena ia orang yang suka seni melipat kertas).
3.
Gunakan hati.
Aktivitas menulis tak cukup dengan wawasan pikiran dan referensi
buku semata. Kita perlu menggunakan hati. Seperti dalam kehidupan keseharian,
orang akan lebih senang diajak bicara secara lembut. Siapapun pasti tak akan
suka dibentak-bentak, diperlakukan kasar oleh orang lain. Bahkan seorang preman
pun tak mau diperlakukan begitu. Dalam menulis juga perlu melakukan hal yang
sama. Kalau ingin melakukan kritik pada seseorang atau lembaga, cara yang halus
perlu dimunculkan pada karya tulisan kita. Jika memang perlu menyindir atau
menyentil, lakukan dengan cara yang tidak frontal dan dengan kata-kata yang
tidak memerahkan telinga. Prinsipnya, selalu menulislah dengan hati, karena
biasanya sesuatu yang dari hati, akan sampai ke hati pula. Kita berharap dengan
begitu orang akan berbalik pikiran dan berubah menjadi lebih baik setelah
membaca karya kita. Kalau seorang penulis bisa melakukan kebajikan semacam ini,
betapa mulianya dia.
4.
Mulailah dari hidupmu.
Banyak orang yang kesulitan mau menulis apa. Kadang, tidak menyadari
bahwa setiap manusia, perjalanan dan pengalaman hidupnya pasti punya sesuatu yang
menarik, sesuatu yang unik. Bukankah ini inspirasi tersendiri ?. Oke, sekarang
mulailah menuliskan cerita-cerita kita. Mulai dari yang terdekat yang bisa kita
rasakan dan kita temui sehari-hari. Kata kuncinya “Jangan pikirkan apa yang
akan Anda tulis, tapi tulislan apa yang ada dalam pikiran Anda”. Torey Haden,
penulis novel “Sheila”, buku yang laris manis itu, pernah mengatakan “Aku sama seperti kalian, yang membedakan hanya karena Aku menuliskannya”. Begitulah, ia
menuliskan pengalaman hidupnya sebagai seorang guru untuk anak-anak “Keterbelakangan
mental”, ternyata buku-buku itu digemari masyarakat karena temanya yang menarik, unik, tentu juga
karena gaya penceritaannya yang menyentuh jiwa. Lain dengan Bayu Gawtama (www.gawtama.blogspot.com), ia rajin
menuliskan catatan hariannya. Sampai saat kini 3 buku telah terhasilkan.
Ceritanya cukup sederhana, lagi-lagi menarik karena berbasis pengalaman pribadi
dengan sentuhan personal yang khas. Begitu juga novel “Laskar Pelangi” Karya
Andre Hirata (www.sastrabelitong.multiply.com),
kisahnya tak lain adalah pengalaman pribadi dan memori masa kecilnya. Nah, kini
saatnya Anda menuliskan sesuatu yang dirasa menarik dalam hidup. Yah siapa tahu
kelak layak diterbitkan menjadi buku. Siapa tahu laris, siapa tahu kelak Anda
menjadi penulis hebat. Siapa tahu...siapa tahu.
5.
Tradisi kaum intelektual.
Menulis itu tradisi kaum intelektual. Jika ada problem serius
dimata umum (publik), ia menulis, menjelaskan duduk masalahnya. Kemudian, punya
alternatif pemikiran bagaimana jalan keluar dari masalah tersebut. Kalau boleh
dibilang, belum cukup rasanya sebutan intelektual kalau ia tak punya karya
(tertulis) satupun. Karena itu, menulis, sampai hari ini masih menjadi tradisi
kaum intelektual. Dengan membaca tulisan, baik artikel atau buku, kita akan
mendapatkan pemahaman yang cukup dan utuh tentang sebuah pokok permasalahan.
Hal ini akan sangat berbeda kalau hanya sekedar mendengar ucapan semata.
Misalnya ketika seorang pakar berpidato dengan isi yang hebat dan punya kadar
keilmiahan yang tinggi, bisa jadi orang sudah melupakannya seminggu atau sebulan
kemudian, walaupun pada saat disampaikan paham betul. Berbeda ketika seorang
pakar mau menuliskannya, walau dalam artikel singkat saja, pengetahuan ini akan
terus dibaca dan bisa terus diingat orang. Apalagi kalau memang kualitas
karyanya bemutu, dengan senang hati banyak orang yang kelak akan mengirimkan
tulisan (pengetahuan) tersebut kepada teman-temannya, lingkungan pekerjaannya,
dst. Pada intinya, ketika orang mau menulis, pengetahuan yang dihasilkan tidak
akan hilang ditelan zaman. Demikianlah sekilas bagaimana gairah menulis itu
bisa kita munculkan. Setelah kita tahu beragam manfaat dari sebuah tulisan,
saatnya sekarang adalah mempraktekkannya. Karena motivasi dan niat untuk
menulis saja tak cukup. Seperti kata Kuntowijoyo (alm), Budayawan Jogjakarta,
untuk bisa menulis itu cukup mudah dan sederhana, rumusnya adalah “DUDUK DAN
LAKUKAN”. Itu saja. (yons achmad). Sumber: http://pustaka-ebook.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar